Menurut masyarakat Toraja, nama suku mereka tersebut berasal dari kata To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, terhormat, bangsawan. Wilayah tempat suku Toraja tinggal, yang sekarang terbagi menjadi Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara dahulu dikenal dengan sebutan Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo (Negri yang bulat seperti bulan dan matahari).
Seperti suku Austronesia lainnya seperti Batak dan Minahasa yang mengenal sistem Marga atau Fam, ada banyak sekali Fam di Suku Toraja, salah satunya adalah Sambo. Dalam Bahasa Toraja, Sambo berarti tutup, penutup atau menutup. Dalam konstruksi rumah adat suku Toraja yakni Tongkonan, ada komponen bagian yang disebut Sambo Topong dan Sambo Rinding. Adapun dalam puisi kuno suku Toraja dapat kita temukan lirik demikian:
Mandaqsiaraka itiq
passindau lelupang
susi indena
mandaq sambo batunna
Artinya :
Adakah di situ tetap baik
simpulan rumput lelupang
seperti di sini
kuat penutup batunya
Ia sambo raqtuk
tedongna ill burake manakka
nasurusan dikalena
Artinya :
Dia penutup bertih
kerbaunya orang pandai
dipersembahkan pada dirinya
Jejak marga Sambo dapat kita temukan pada sebuah lumbung Tongkonan di Taniasa Kandeapi, Tikala, Kabupaten Toraja Utara.
Lumbung Tongkonan itu berbeda karena memiliki 10 banga (tiang), biasanya lumbung tongkonan hanya memiliki 6-8 banga. Lumbung itu juga memiliki 3 longa (atap melengkung) padahal biasanya lumbung tongkonan memiliki 2 longa saja.
Lumbung Tongkonan itu dibangun oleh Mayjen Polisi Pieter Sambo, seorang polisi yang memiliki reputasi sebagai polisi jujur dan juga aktif dalam gerakan kepramukaan Indonesia. Pieter juga membantu revitalisasi dan penataan Tongkonan di Tana Toraja. Di kemudian hari, keponakan Pieter, Ferdy mengikuti jejak sang paman untuk menjadi polisi pula.
Referensi:
LT Tanhdilintin. Toraja dan Kebudayaannya
JS Sande. Sastra Toraja dan Terjemahannya(sumber:Neo Historya Indonesia)