Manado,BS- Proses penegakkan hukum tidak bisa mengabaikan posisi pelapor.Namun, fakta menyebutkan pelapor kerap kali menghadapi kesulitan, antara lain setelah memberikan laporan, yang bersangkutan malah balik dituduh mencemarkan nama baik dan fitnah.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban(LPSK) Abdul Haris Semendawai, dalam kegiatan sosialisasi peningkatan upaya dan perlindungan dan layanan bantuan bagi saksi dan korban menurut UU nomor 31 tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 13 tahun 2006 di hotel Aryaduta menegaskan, Undang-Undang tersebut diatas sangat jelas mengatur posisi pelapor, dimana kata dia pada pasal 10 disebutkan bahwa saksi,korban, saksi korban, saksi pelaku dan /atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksiandan /atau laporannya yang akan,sedang dan atau telah diberikan, kecuali dengan itikad tidak baik.” Undang-undang sangat jelas bahwa pemberi kesaksian tidak dapat dituntut secara hukum,” tandas Semendawai sambil menambahkan meskipun laporan yang disampaikan tidak cukup untuk dikatakan tindak pidana.
Dia mengatakan, lahirnya Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban yang kemudian disempurnakan melalui Undang-Undang nomor 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 13 tahun 2016 itu, menjadi satu bukti bahwa pemerintah dan pihak DPR RI sangat serius memikirkan soal hak-hak saksi dan korban dalam pengungkapan kasus pidana.” Saya memastikan bahwa soal hak dari saksi dan korban pemerintah dan DPR-RI memiliki perhatian yang sangat serius,” ujar Semendawai.
Data LPSK menyebutkan bahwa pada tahun 2012 telah memberikan layanan perlindungan sebanyak 743 layanan, 2013 sebanyak 1.183 layanan, tahun 2014 sebanyak 1.890 layanan dan tahun 2015 hingga bulan Juni lalu telah memberikan sebanyak 1.748 layanan yang terbagi dalam dukungan hak prosedural 292 layanan,perlindungan fisik 133 layanan,medis 881 layanan,rehabilitasi psikologi dan psikososial 383 layanan dan restitusi sebanyak 59 layanan.(nando)